Ikhlas dan keutamaanya (bag1)
Diantaranya faktor utama dalam
keberhasilan sebuah dakwah ialah apabila da’i yang mengajak manusia
kembali kepada Allah menghiasi dirinya dengan niat ikhlas dalam
dakwahnya , mengharap keridhaan Rabbnya serta keberuntungan dengan janji
yang disediakan oleh Allah untuk para wali ( kekasih)Nya yang bertaqwa
dan beriman.
Tidak ada keberhasilan bagi dakwah
kepada Allah kecuali jika dakwah itu memang betul-betul karena Allah.
Sebab dakwah adalah ibadah sehingga sahnya atau tidaknya dakwah
tergantung kepada syarat ibabah itu sendiri, yaitu ikhlas dan mutaba’ah (
sesuai dengan Sunnah Rasulullah). Jadi ibadah itu dibangun diatas
keikhlasan dan mutaba’ah. Ini di tegaskan pula oleh Syaikh Al Allamah As
Sa’di dengan menyatakan :
“ ibadah itu semua sama baik ibadah
batiniyah seperti mahabbatullah ( cinta kepada Allah ), takut
kepadaNya, mengharapkanNya, bertawakkal kepadaNya, mencintai apa yang
dicintaiNya apakah itu amalan, sosok pribadi tertentu serta memuliakan
apa yang di muliakan oleh Allah. Atau ibadah lahiriyah seperti
pelaksanaan syari’at lahiryah, apakah yang berhubungan dengan murni hak
Allah maupun yang berhubungan dengan hak sesama makhlukNya”
Semua itu harus terisi dengan niat ikhlas karena Allah Ta’ala dan mutaba’ah Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam.
Siapapun yang menghimpun keduanya niscaya dia beruntung dan bahagia.
Sebaliknya, bila hilang salah satu dari keduanya maka dia akan sengsara
dan menderita kerugian yang nyata.
Oleh sebab itu, tidak ada yang lebih
bermanfaat bagi seorang manusia daripada menjadikan ikhlas dan mutaba’ah
ini senantiasa tertanam di setiap yang di kerjakan dan ditinggalkan
serta dalam semua ucapan dan perbuatan. Sehingga betul – betul ikhlas
itu menjadi kepribadianya dan mutaba’ah itu perilakunya.
Siapa saja yang memperhatikan ayat-ayat
Al Qur’an dan bukti-bukti nyata yang dipaparkannya dengan pemikiran yang
dalam perhatian dan pemahaman yang seksama serta betul-betul
mempelajarinya, tentu dia akan melihat dengan bashirah yang tajam betapa
agungnya nilai ikhlas dalam agama ini. Allah berfirman :
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ , أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“ sesungguhnya Kami menurunkan Kitab
(Al Qur’an) dengan ( membawa ) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan
memurnikan keta’atan (dien) kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah
lah agama yang bersih ( dari syirik) ( Az Zumar:2-3)
Dan
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“ padahal mereka tidak di suruh
kecuali supanya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama dengan lurus ( Al Bayyinah : 5)
Maka, suatu amalan perbuatan tidak
dianggap sebagai amalan shaleh kecuali bila amalan itu ikhlas dan shawab
( benar, sesuai sunnah Rasulullah). Berkaitan dengan hal ini, Syaikh
Muhammad Al Amiin, mengatakan :
“ Sesungguhnya Al Quranul’Azhiim telah
menerangkan bahwa amalan shaleh itu menjadi sempurna karena tiga hal.
Apabila salah satu dari ketiga hal itu hilang, maka tidak artinya amalan
itu bagi pelakunya pada hari kiamat. Ketiga hal itu ialah ikhlas
mengharap wajah Allah yang mulia.
Syaikh Sulaiman Alu Syaikh mengatakan :
“ keduanya ( ikhlas dan shawab ) ini
merupakan dua rukun diterimanya amalah shaleh. Sehingga amalan yang
diterima itu mesti disertai ikhlas dan shawab ( sesuai dengan sunnah
Rasulullah ). Adapun shawab artinya amalan tersebut dikerjakan
berdasarkan tuntunan sunnah Rasulullah. Amalah yang khalish ( murni )
artinya perbuatan yang bersih dari syirik yang tampak maupun
tersembunyi.
Syaikh Al ‘Allamah Hafizh Al Hakimi menerangkan :
“ Ikhlas artinya membersihkan atau memurnikan amalan dengan niat yang benar dari semua kotoran syirik”
Dengan demikian suatu perbuatan meskipun
shawab ( benar sesuai dengan sunnah) tidak akan dianggap memiliki
kebaikan kecuali jika lurusnya maksud dan tujuan ( niat) amal perbuatan
tersebut. Dalam hal ini Syaikh Al Alamah As Sa’di menyatakan :
“ Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam
telah menerangkan bahwa shaleh atau tidaknya suatu amalan tergantung
pada niat yang melandasi perbuatan tersebut. Dan setiap orang akan
memperoleh hasil dan amalan itu sesuai dengan niatnya. Perlu juga
diketahui bahwa semua ibadah tidak akan shah kecuali dengan niat.
Selanjutnya mesti dengan niat, maksud dan tujuan amalan atau ibadah
adalah karena mengharap wajah Allah dan pahalaNya, dan melaksanakan
kewajiban yang Allah perintahkan dan dicintaiNya bagi hambaNya.”
Jelaslah bahwa semua itu tidak lain
dinilai dari hati dan kebaikan yang ada padanya, ketergantungan kepada
Rabbnya, harapan kepada pahalaNya, Rasa takut kepada hukumanNya. Dan
mengenai hal itu Allah befirman :
لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ
“ daging – daging unta dan darahnya
itu sekali-kali tidak dapat mencapai ( keridhaan) Allah, tetapi
ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya” ( Al Hajj : 37)
Dalam ayat yang mulia ini Allah Ta’ala
menerangkan dengan jelas dan tegas bahwasannya tidak akan berguna
sedikitpun amalan seorang manusia kecuali jika amalan tersebut disertai
dengan ketaqwaan dan keikhlasan. Dan Allah sama sekali tidaklah mendapat
manfaat sedikitpun ketaatan oran-orang yang taat kepadanya, sebaliknya
tidaklah merugikanNya sedikitpun kedurhakaan orang – orang yang durhaka
terhadapNya. Allah Subhanahuwata’ala juga berfirman :
مَّنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ۗ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ
“ barang siapa yang mengerjakan amal
shaleh maka ( pahalanya ) untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang
berbuat jahat maka ( dosanya ) atas dirinya sendiri ( Fushshilat : 46 )
Berkaitan dengan hal ini , Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam menerangkan :
“ sesungguhnya Allah tidaklah
melihat kepada bentuk dan harta benda kalian. Akan tetapi Dia melihat
kepada hati dan amalan kalian ( HR. Muslim, Kitabul Birri wa shilah
16/183)”
Termasuk hal hal yang menjelaskan betapa
pentingnya kedudukan niat yang lurus ini ialah bahwasanya tiadanya
keikhlasan kepada Allah Ta’ala dalam mengajak manusia ke jalan Allah
termasuk ke dalam lingkup kesyirikan yang dilarang oleh Allah dan
diperingatkan oleh para Rasul agar dijauhi, bahkan menjadi sebab
perseteruan antara para Rasul dengan masyarakat meraka.
Maka Riya’ dan tidak ikhlas merupakan salah sari cabang dari kesyirikan, sebagaimana firman Allah yang diriwayatkan oleh Nabi :
“ aku adalah sekutu yang paling
tidak membutuhkan sekutu. Barang siapa yang mengerjakan amal dan
menyekutukan sesuatu Selain Aku dalam amalan itu, Aku biarkan dia
bersama sekutunya itu “. [ HR. Muslim, Kitabuz Zuhd 18/156 no 2985)
Allah Subhanahuwata’ala telah menetapkan
tidak adanya kekuatan atau kekokohan ( tsabat ) pada semua amalan yang
tidak ikhlas mengaharapkan wajahNya, dengan memberikan sebuah tamtsiil (
permisalan ) dalam kitabnya yang mulia. Firman Allah Ta’ala :
ضَرَبَ
اللَّهُ مَثَلًا رَّجُلًا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلًا
سَلَمًا لِّرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلًا ۚ الْحَمْدُ لِلَّهِ ۚ بَلْ
أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“ Allah membuat perumpamaan (yaitu)
seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang
berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik
penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya?
Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui “( Az
Zumar : 29)
Dengan demikian semua dakwah yang
dibangun di atas niat yang tidak ikhlas, seperti ingin didengar (sum’ah
), pamer, agar di puji orang lain atau kedudukan. Maka pantaslah membuat
orang yang seperti itu terjungkal, gagal dan sia – sia urusannya.
( di ambil dari buku, Manhaj Dakwah Salafiyah, Pustaka Al Haura’ )
0 comments:
Post a Comment