Ikhlas dan keutamaanya (bag2)
Betapa dakwah yang tersebar di masa
kini, banyak jumlah da’inya, akan tetapi sayang sekali, seorang demi
seorang gugur dan terjungkal dalam penyimpangan aqidah dan manhaj yang
jauh dari apa yang pernah diamalkan oleh para pendahulu yang shaleh dari
umat ini.
Ibnul Qayyim menegaskan hal ini dengan menyatakan :
“ adapun fitnah yang menerpa hati
manusia adalah salah satu dari sekian sebab sekitnya hati tersebut.
Fitnah tersebut berupa fitnah syahwat dan syubhat ( kerancuan) fitnah al
ghay ( kesesatan setelah mengetahui kebenaran) dan fitnah dlalal (
kesesatan karena kebodohan) juga fitnah kemaksiatan dan bid’ahan serta
fitnah kezaliman dan kebodohan. Adapun yang pertama akan menyebabkan
rusaknya tujuan dan niat, sedangkan yang kedua menimbulkan kerusakan
ilmu dan keyakinan ( i’tiqad).
Nabi bersabda :
“ Sesungguhnya orang yang pertama
yang diputuskan perkaranya pada hati kiamat ialah orang yang syahid
(gugur dalam berjihad). Dia dibawa menghadap lalu di tunjukan kepadanya
nikmat yang diperolehnya dan dia pun mengenalnya. Allah berkata : “ apa
yang kau kerjakan padanya?” orang yang shahid tadi mengatakan : “ saya
berperang di jalanMu sampai mati”. Allah mengatakan : “ kamu dusta,
kamu berperang agar diberi gelar pemberani, dan sudah di katakan
demikian.” Lalu diseret di atas mukanya dan dilemparkan ke dalam neraka.
Kemudian seorang yang mempelajari ilmu dan mengajarkan dan membaca Al
Qur’an. Dia dibawa mengahadap, ditunjukkan kepadanya nikmat yang
diperolehnya dan dia mengenalnya. Allah bertanya : “ Apa yang kau
kerjakan padanya? “ dia berkata : “ saya mempelajari ilmu,
mengajarkannya dan membaaca Al Qur’an karena Engkau.” Allah menjawab : “
kamu dusta, kau melakukannya agar di katakan sebagai orang yang alim
(berilmu) dan digelari Qari’ ( ahli baca Al Quran) dan sudah dikatakan
demikian. Kemudian dia dibawa dan diseret di atas mukanya dan di lempar
ke dalam api neraka. Dan seorang yang telah luaskan kehidupannya dan
memberinya berbagai jenis harta yang melimpah. Dia dibawa menghadap,
diperkenalkan kepadanya nikmat yang diperolehnya dan dia mengetahuinya.
Allah berkata : “ apa yang kau perbuat padanya?” dia berkata : “ tidak
ada satu jalan pun yang engkau cintai agar aku berinfaq padanya
melainkan saya belanjakan harta saya padanya karena Engkau.” Kata Allah :
“ Kau dusta, kamu perbuat demikian adalah agar dikatakan dermawan, dan
sudah dikatakan demikian. “ kemudian dia di bawa dan diseret di atas
mukanya dan di lempar ke dalam neraka.” [HR. Muslim Kitabul Imara 13/75
no. 1095)
Maka hendaklah seorang muslim takut dan
yakin bahwa selalu dalam pengawasan Allah berusaha menghisab dirinya
sendiri, menggiatkan untuk memperbaiki niatnya. Tidak akan terwujud hati
yang bersih kecuali dengan berjuang keras ( mujahadah ) dalam
perjalanannya menuju Allah Subhanahuwata’ala. Ibnul Qayyim berkata :
“ yaitu hati yang selamat dari
perbuatan syirik kepada Allah, dalam bentuk apapun. Bahkan telah
betu-betul memurnikan pengabdianya hanya kepada Allah Ta’ala, baik dalam
niat, cinta, tawakkal, ibabah ( kembali), ikhbat ( tunduk patuh kepada
Allah), Khasy yah ( rasa takut kepada Allah di dasari ilmu tentang
Allah), raja’ (optimis) , dan bersih amalanya hanya karena Allah. Lebih
ringkas dapat di katakan bahwa hati yang selamat adalah hati yang bersih
dan selamat dari semua dorongan syahwat menyelisihi perintah dan
larangan Allah serta bersih dari berbagai syubhat yang menghadangnya”.
Dari sini, permasalahan ini adalah
sangat besar dan berbahaya, ketika pudarnya keikhlasan dalam kehidupan
seorang da’i. Dimana akhirnya dia justru akan berangkat untuk
mengusahakan kerusakan dan kesesatan akibat hilangnya keikhlasan
tersebut dari dalam hatinya. Selanjutnya, kalau dia mencintai sesuatu
maka dia mencintainya karena hawa nafsunya.
Semua tujuan dan cita – citanya berdalih
dengan apa yang dicetuskan oleh hawa nafsunya. Sama sekali tidak
dilandasi kalimat yang haq ketika di ridha ( senang ) dan benci. Hal ini
karena adanya keburukan dalam tujuan dan hawa nafsunya serta tidak
adanya niat yang ikhlas karena Allah. Ibnul Qayim berkata :
“ tatkala kebanyakan orang yang
berbicara dengan kebenaran hanya ketika dia senang ( ridha) dan teryata
ketika dia marah, kemarahannya itu di melemparkanya ke dalam kebatilan,
bahkan bisa jadi keridhaanya menjerumuskannya kedalam kebatilan.”
Sehingga tidak syah lagi, bahwa tidak
adanya niat yang ikhlas akan mengiringi seorang da’i menempuh jalan hawa
nafsu dan kerendahan. Akhirnya dia mulai mendorong pemiliknya ( orang
yang tidak ikhlas ) ini menelan semua makanan yang sesuai dengan tujuan
dan sasarannya, dan selanjutnya menjauhkan dari kebenaran dan
perangkatnya.
Adapun da’i yang keihlasan itu berakar
kuat dari sanubarinya dalam segenap maksud dan tujuannya, dialah yang
selamat dari ghisyawatulqulub ( tertutupnya hati ) yang Allah sendiri
tidak ingin membersihkannya. Pada saat seperti itu akhirnya hati akan
terjungkal ke dalam gemilang hawa nafsu, penyelewengan dan kehinaan.
Di perjelaskan lagi oleh Ibnul Qayyim rahimahumullah :
“ Hati yang bersih karena cahaya dan
hidupnya yang sempurna, bersih dari kekotoran dan kekejian, tidak akan
pernah merasa kenyang dari Al Quran. Dia tidak akan pernah menelan
sesuatu kecuali hakekat Al Quran. Dia tidak akan pernah menelan sesuatu
ketika Al Quran tersebut, tidak akan berobat kecuali dengan obat-obat
yang ada dalam Al Quran. Berbeda dengan hati yang tidak disucikan oleh
Allah Subhanahuwata’ala, karena hati yang demikian akan senantiasa
menelan segala sesuatu yang sesuai dengan keadaan hati tersebut.”
Beliau juga menerangkan satu kalimat
agung yang dipetik dari cahaya Al Quran dan nubuwah ( kenabian )
bahwasanya ikhlas dalam beramal dan berdakwah akan menjaga seorang
manusia dari cengkeraman kekuasaan syaitan. Beliau menegaskan bahwa
tauhid, tawakal dan ikhlas akan menolak cengkeraman kekuasaan syaitan.
Syaikh Al ‘Allamah Asy Syin qity rahimahumullah mengatakan :
“ Allah menegaskan bahwasannya jika
jelas di ketahui adanya keikhlasan di dalam hati para hamba-Nya
sebagaimana layaknya, maka sebagai buah atau hasil dari keikhlasan itu,
mereka akan menguasai dan mengalahkan lawan yang jauh lebih kuat dari
mereka. Karena itulah tatkala Allah Ta’ala mengetahui adanya keikhlasan
sebagaimana yang di maukan di dalam hati para sahabat yang mengikuti
baiturridlwan ( sumpah setia di Hudaibiah ), dia puji mereka dengan
keikhlasan tersebut dengan firmaNya
فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ
“… maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka” ( Al Fath : 18 )
Allah nyatakan tentang buah keihlasan
itu ialah bahwa Dia akan di jadikan mereka mampu melakukan sesuatu yang
sebelumnya mereka tidak sanggup melaksanakannya. Sebagaiamana firman
Allah Ta’ala :
وَأُخْرَىٰ لَمْ تَقْدِرُوا عَلَيْهَا قَدْ أَحَاطَ اللَّهُ بِهَا ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرًا
“ dan ( telah menjanjikan pula
kemenangan-kemenangan) yang lain ( atas negeri – negeri ) yang kamu
belum dapat mengusainya yang sungguh Allah telah menentukannya “ ( Al
Fath : 21)
Kesimpulannya :
Seorang da’i mengajak manusia kepada
Allah, tidak akan pernah mendapatkan buahnya di dunia dan akherat sampai
dakwahnya itu bersih dan murni dari segala kekotorannya riya’, sum’ah,
dan bid’ah yang menyimpang.”
Imam Al Qurtubi ketika menerangkan firman Allah Ta’ala
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“ sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukaaNya dengan sesuatu pun ( An nisa 36) “
Ayat ini merupakan landasakan pokok
dalam ikhlas beramal karena Allah Subhanahuwata’ala membersihkannya dari
semu kotoran riya’ dan sebagaimana. Allah Ta’ala berfirman :
فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“ barangsiapa mengharap perjumpaan
dengan tuhannya maka hendaknya ia mengerjakan amal yang shaleh dan
janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabbnya (
Al Kahfi : 110 )
Manhaj ini mendorong untuk kokoh dan
baik dalam beramal serta da’i yang haq mengajak kepada islam dengan
ucapan dan perbuatanya. Semua itu tidak lain karena keikhlasan yang
bernyala-nyala di dalam hatinya.
Seorang da’i yang mukhlis (ikhlas )
ialah da’i yang menjauhkan dakwah kepada islam ini dari semua yang
merugikan penyimpangan bid’ah yang membelongkan dakwahnya dari manhaj
yang lurus. Seorang da’i dituntut agar memiliki ‘aqidah dan manhaj yang
lurus, dengan benar-benar membuktikan manhaj yang lurus, dengan
benar-benar membuktikan manhaj Rasulullah yang telah ditempuh oleh para
pendahulunya umat ini, mengimani, mengamalkannya dan mendakwahkannya.
Demikian sebagaimana yang difirmankan oleh Alla Ta’ala :
وَمَن يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
“ barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shaleh baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang beriman ( An Nisa : 124 )
Dalam ayat ini Allah mensyaratkan adanya
iman, aqidah yang bersih sehingga seorang yang beramal betul-betul
berada di atas prinsip dan landasan yang kokoh serta bersih. Oleh karena
itu, makna ikhlas bukanlah semangat yang hebat yang sama sekali tidak
didasari oleh batas-batas syari’at ataupun pedoman – pedoman dari As
Sunnah.
( di ambil dari buku, Manhaj Dakwah Salafiyah, Pustaka Al Haura’ )
0 comments:
Post a Comment